Beranda | Artikel
Kapankah Kita Menyadari?
Rabu, 23 April 2014

d18a7585024b3a09e0a41c90d2a45f7b

Keterangan Gambar : ‘Tidaklah benar penghambaanmu selama di dalam hatimu masih ada tersisa kebergantungan hati kepada selain Allah’ [Ibnul Qayyim]

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah…

Anda mungkin masih bisa mengingat, masa-masa kecil anda, dimana anda berkumpul bersama rekan-rekan anda, bergurau, bercanda, bermain, dan ada kalanya anda tertarik untuk menghampiri masjid, menunaikan sholat di dalamnya, walaupun ketika itu mungkin masjid tak sebagus masa-masa sekarang.

Namun, pengalaman itu begitu berkesan, kepolosan seorang bocah, keluguan seorang remaja yang hidup di sebuah masyarakat Islam, di sebuah negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia; yaitu Indonesia. Negeri yang selalu dibanggakan dengan kekayaan alamnya, negeri yang disirami cahaya matahari sepanjang masa, negeri yang menumbuhkan tanam-tanaman dan buah-buahan beraneka rasa, negeri yang membesarkan kita menjadi manusia beragama.

Kaum muslimin yang dirahmati Alah…

Tentunya ini semua hanya secuil dari jutaan atau bahkan trilyunan nikmat Allah yang tercurah kepada kita. Kita bisa bernafas. Kita bisa bergerak. Kita bisa melihat. Kita bisa mendengar. Kita bisa minum. Dan lain sebagainya, kenikmatan tak terhingga yang selalu terlimpah dan menghanyutkan kita dalam samudera nikmat dan karunia dari Rabb penguasa alam semesta.

Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin ‘segala puji bagi Allah, Rabb seru sekalian alam’ inilah yang kita baca setiap hari di dalam sholat kita, bahkan di setiap raka’at. Mengingatkan kita akan curahan-curahan nikmat Allah yang tiada henti dan tidak membeda-bedakan warna kulit, suku bangsa, bahkan agama. Inilah rahmat Allah yang maha luas dan tarbiyah-Nya yang maha agung kepada seluruh makhluk. Maka, nikmat Rabb kalian manakah yang hendak kalian dustakan?

Saudaraku -semoga Allah melimpahkan taufik-Nya kepadaku dan kepadamu- kehidupan datang dan pergi, bayi terlahir, menjadi dewasa, orang tua pun menginjak usia lanjut dan pintu akhirat tak jauh darinya. Terkadang ajal pun tidak memandang kepada putihnya uban atau lemahnya tulang punggung dan keriputnya kulit seorang insan. Belum lama berlalu, seorang mahasiswa meninggal akibat kecelakaan, di saat itu pula seorang tua renta meninggal tertabrak olehnya. Mereka yang hadir melihat tubuhnya di tengah sakaratul maut tentu bisa merasakan betapa berat, pedih dan mengerikan kejadian yang menimpa.

Dokter tidak bisa berbuat apa-apa. Sebab ajal di tangan Allah. Malaikat maut pun telah ditetapkan tugasnya dan dia tidak akan pernah melanggar perintah Rabbnya. Semuanya sudah ditakdirkan. Kita pun hanya bisa mengucapkan ‘milik Allah lah segala yang Dia ambil, dan milik Allah pula apa yang diberikan oleh-Nya, dan segala sesuatu di sisi-Nya pasti ada ajal yang telah ditetapkan…’ Kita semua milik Allah dan akan kembali juga kepada-Nya…

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, seringkali atau bahkan terlalu sering, kita lalai dari memikirkan tujuan hidup dan hikmah keberadaan kita di alam dunia ini. Kita makan, minum, tidur, bekerja, berusaha, berjalan, bepergian, tanpa kita ingat apa sih yang menjadi tujuan hidup kita. Kita pun larut dalam pemuasan hawa nafsu. Kita hanyut dalam godaan-godaan setan. Kita terombang-ambing dalam pergolakan kesesatan dan penyimpangan. Seolah-olah telah lenyap dari ingatan kita, firman Allah (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat : 56)

Belumkah tiba saatnya bagi kita, untuk menundukkan hati dan perasaan, menundukkan akal dan hawa nafsu, kepada syari’at Rabbul ‘alamin? Kepada ketetapan ahkamul haakimiin. Kepada hukum Allah jalla wa ‘ala, berpaling dari segala hukum dan ideologi yang merusak jati diri umat manusia serta mencampakkan mereka ke dalam lembah yang begitu hina.

Apakah yang masih kita bisa rasakan sekarang diantara kelezatan-kelezatan iman dan amal salih? Adakah dalam diri kita kesejukan dzikir, ketentraman mahabbatullah, keteguhan sabar, dan kelapangan syukur? Sudahkah sholat kita memberikan bekas di dalam jiwa? Sudahkah syahadat kita membuahkan keyakinan kuat akan agama dan hukum-hukumnya? Mengapa banyak orang yang mengaku muslim namun tiada pancaran cahaya iman, kesejukan dzikir, dan kelembutan syukur di dalam perilaku dan cara berpikirnya? Ibarat sebuah rumah tua yang tak berpenghuni, dari luar tampak megah dan indah, namun tak ada seorang pun yang mau tinggal di dalamnya… Seperti itukah jasad kita?

Saudaraku, memang ibadah tidak sesempit bulan Ramadhan, ibadah juga tidak sebatas Jum’atan sepekan sekali, ataupun sholat lima kali sehari. Ibadah sangat luas dan selalu terbuka selama mentari masih berseri. Sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Dan beribadahlah kepada Rabbmu sampai datang kematian.” (QS. al-Hijr)

Ibadah ini akan lestari hingga saat-saat hembusan nafas terakhir dan perpisahan dengan alam dunia yang fana ini. Oleh sebab itu Allah berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan sebagai muslim.”

Ibadah kepada Allah inilah pusat kehidupan hati, penggerak jiwa, pengasah nurani, dan pemicu semangat berapi-api. Ibadah yang tak mengenal medan, lapangan, benua, ataupun dimensi ruang dan waktu. Karena ibadah kepada Allah adalah menunaikan apa-apa yang dicintai oleh Allah dan diridhai-Nya, baik berupa ucapan ataupun perbuatan, yang tampak ataupun yang tersembunyi. Ibadah memang tidak hanya bisa dilakukan di tanah suci. Oleh sebab itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada kita, ‘untuk bertakwa kepada Allah dimana pun berada’.

Ketakwaan kepada Allah inilah yang akan mengantarkan insan menuju kemuliaan dan ampunan. Bahkan takwa itulah sebaik-baik bekal perjalanan. Perjalanan yang panjang dan melelahkan. Perjalanan yang penuh dengan hambatan, rintangan, dan godaan. Perjalanan yang akan terasa mudah dan ringan dengan menimba ilmu dan tafaqquh fid dien. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu [agama] maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)

Kapankah kita akan menyadari hal ini? Kesempatan yang begitu luas, waktu yang begitu lapang, dan kesehatan tubuh yang selalu menunjang. Namun betapa banyak orang lalai dan tertipu dengan kenikmatan-kenikmatan semu dan kesenangan-kesenangan sementara. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dua buah nikmat yang banyak orang tertipu olehnya, yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari)

Imam Ahmad rahimahullah mengatakan, “Manusia jauh lebih membutuhkan ilmu daripada kebutuhan mereka kepada makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman dibutuhkan dalam sehari sekali atau dua kali saja. Adapun ilmu dibutuhkan sebanyak hembusan nafas.” Ilmu al-Qur’an dan as-Sunnah. Ilmu yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dengan ilmu inilah manusia menjadi manusia yang sebenarnya. Karena itulah, Imam Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Kalau bukan karena keberadaan para ulama niscaya keadaan manusia sama saja dengan binatang.” Mereka makan dan bersenang-senang seperti layaknya binatang ternak, sementara neraka kesudahan mereka. Mereka memiliki hati tapi tidak digunakan untuk berpikir, mereka memiliki mata tapi tidak dipakai untuk melihat, dan mereka pun memiliki telinga, namun tidak mereka gunakan untuk mendengar dan menyimak hidayah Rabbnya. Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan bisa jadi lebih sesat dan lebih buruk keadaannya… Wal ‘iyadzu billaah.

Dimanakah anda akan mengakhiri perjalanan yang panjang ini wahai saudaraku? Apakah di kuburan? Anda dan kita semua akan berkumpul di sana, namun yang jelas bekal apa yang kita miliki untuk menyambut hari kebangkitan, hari pembalasan, itulah yang harus kita persiapkan sekarang sebelum kita melangkah dan berusaha memperbaiki wajah dunia. Bukankah Allah telah berfirman (yang artinya), “Hendaklah setiap jiwa melihat apa yang telah disiapkan olehnya untuk hari esok/akhirat.”

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu memberikan nasihat, “Jadilah kalian anak-anak akhirat dan janganlah kalian menjadi anak-anak dunia.” Demi Allah, bukanlah kemiskinan yang dikhawatirkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita; akan tetapi beliau khawatir tatkala dunia ini terhampar untuk kita lalu kita pun berlomba-lomba dan bersaing mengejar dunia, sehingga dunia pun mencelakakan kita sebagaimana ia telah mencelakakan umat-umat sebelum kita.

Saudaraku, dunia ini laksana sebatang pohon yang kita hampiri dan rehat sejenak di bawah naungannya. Dan sesudah itu kita akan meninggalkan pohon itu. Orang yang cerdas tentu akan membawa bekal untuk menempuh perjalanannya. Dia tidak akan terlena oleh sepoi-sepoi angin, semerbak bunga, dan keteduhan pohon itu seindah apapun bentuknya. Dia akan bergegas, dia akan melangkah dan terus maju mencapai tujuan dan melupakan lelahnya perjalanan.

Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Para pemuja dunia keluar dari dunia dalam keadaan tidak merasakan sesuatu yang paling indah di dalamnya.” Orang-orang bertanya, “Apakah itu wahai Abu Yahya?”. Beliau menjawab, “Yaitu mengenal Allah ‘azza wa jalla.” Bagaimanakah anda hendak mengenal Allah jika anda tidak mengenal akidah Islam, tidak mendirikan sholat, tidak berdzikir kepada-Nya, tidak bersyukur kepada-Nya, tidak bersabar atas takdir-Nya, dan tidak bertaubat kepada-Nya?

Bagaimana anda hendak mengenal Allah, jika al-Qur’an tak pernah anda baca? Bagaimana anda hendak mengenal Allah jika majelis ilmu pun tidak pernah anda hampiri? Bagaimana anda hendak mengenal Allah jika air mata anda tidak pernah mengalir karena takut kepada-Nya? Bagaimana anda hendak mengenal Allah jika maksiat dan dosa selalu melekat dan membutakan hati? Bagaimana anda hendak mengenal Allah jika anda selalu merasa benar dan tidak pernah mengakui kesalahan di hadapan-Nya?


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/kapankah-kita-menyadari/